Irsyad Madjid - Gambar ini saya ambil dari salah satu sekolah dasar yang jauh ke pelosok malang selatan. Tepatnya d daerah desa Banjarsari, dusun plosok kandang. Meskipun jauh dari kantor kementerian pendidikan pusat maupun daerah, tapi nilai yang coba di tanamkan di sekolah ini saya yakin sesuai dengan apa yang di "tandfizh"kan oleh kementrian. Saya terkesima memandangi dan membaca plakat yang menempel gagah d tembok sekolah ini. Sekaligus muncul pertanyaan yang ada d benak saya, ternyata begitu banyak nilai yang ingin kita tanamkan kepada generasi terdidik bangsa. Apakah mereka sanggup ? Kata mereka disini merujuk secara simultan kepada pendidik dan terdidik, pengajar dan murid ajar.
Saya mencoba mengamati sistem pembelajaran yang berjalan secara normal d sekolah ini. Masuk jam 7 pagi, istrahat jam 9, masuk lagi jam 09.30 bagi murid kelas 1-3 sekitar jam 11 an pembelajaran telah usai. Kelas 4-6 diakhiri ba'da duhur. Diluar jam sekolah, kegiatan mereka juga tidak lepas dari proses mencari ilmu. Sekitar jam 2 siang sampai sholat ashar ada kegiatan mengaji di TPA. Nah, sehabis ashar ini yang agak longgar , mereka biasanya bermain sesuka hati. Lepas magrib, mereka lanjut ngaji lagi di TPA yang sama.
Kemudian saya merujuk pada suatu kesimpulan, bahwa proses sekolah mereka tidak terbatas pada sekolah formal di SD, tapi mereka pun juga tak lelah melanjutkan "sekolah" di TPA. Lebih lanjut, secara sederhana saya melihat ini sebagai bentuk Full Day School "ala" anak kampung desa Banjarsari. Bukan ala pak mendikbud yang di bully dengan berbagai macam alasan itu. Meskipun kejadian ini tidak relevan jika di jadikan potret kongkrit proses pembelajaran secara general anak sekolah se-indonesia, tapi poin penting yang ingin saya jelaskan adalah, bagi usia mereka : proses belajar adalah hal yang menyenangkan. Tidak lebih, tidak kurang.
Sekalipun saya tak pernah melihat rasa sesal dalam ekspresi mereka. Bahkan ketika malam hari setelah ngaji dan sebelum tidur harus terlebih dahulu mengerjakan PR sekolah. Capek dan lelah mungkin iya, tapi tidak dengan sesal. Mereka tak berhenti mencari ilmu, karena di sekolah lah mereka bertemu teman sekelas, di TPA lah bertemu dengan teman ngaji.
Maka saya kembali teringat dengan tulisan nilai pendidikan budaya dan karakter yang tercantum di plakat sekolah, Religiusitas dan Kerja keras. Saya yakin dua nilai itu tidak mampu secara komprehensif mereka dapatkan jika proses pencarian hanya berlangsung d kelas saja. Untungnya mereka melaksanakan proses pencarian nilai itu dengan sistem Full Day School ala "mereka" sendiri. Tulisan ini, bukan dibuat atas dasar dukungan kepada pak muhajir atau serangan balik buat pem-bully sistem FDS-nya mendikbud. Saya adalah orang yang ikut memasang gambar "Antar anak ke sekolah" pada saat program itu di gagas, bahkan saya pernah mendaftar jadi tim relawan turun tangannya pak anies.
Saya hanya mencoba menggambarkan mengenai suatu potret kejadian kecil di negeri kita, kepada mereka pembully FDS dengan alasan anak akan stress belajar karena kelamaan di sekolah atau kehilangan waktu interaksi karena terus berada di sekolah. Dan yang paling parah, mereka yang membully hanya karena takut sanak keluarganya yang jadi guru ngaji di TPA kehilangan pekerjaan. Yang saya pahami, mereka... anak sekolah di negeri ini tanpa sengaja dan secara tidak langsung sudah menjalankan sistem FDS tapi dengan cara mereka sendiri, dan yang perlu kita perhatikan dengan saksama, berada di sekolah akan membuat mereka berinteraksi dengan banyak orang, teman sekelas, dan guru yang merupakan pengasuh mereka
Program FDS yang baru wacana ini hanya akan mem"formal"kan sistem FDS yang tadinya hanya acakadut dan semau-mau mereka itu menjadi sebuah sistem rapi dan terprogram dengan jelas. Mereka tidak kehilangan apa-apa selain kehilangan waktu berburu pokemon dengan gadget mewah, atau kehilangan waktu nonton streaming smackdown di youtube. Bahkan mereka tidak akan kehilangan waktu nonton sinetron bersama keluarga yang biasanya dilakukan sehabis magrib d rumah masing-masing.
Erich Fromm, seorang psikologi sosial, psikoanalis, sosiologi, humanisme, sosialis demokrat dan filsuf berkebangsaan Jerman yang juga merupakan anggota asosiasi untuk Sekolah Frankfurt tentang teori kritik, pernah melancarkan kritiknya terhadap sistem sekolah kovensional. Menurutnya sistem yang berlaku hanya melahirkan makhluk bernama "automaton". Istilah ini digunakan erich untuk menggambarkan "robot" yang lahir dari sistem konvensional itu. Kenapa robot ? karena diciptakan untuk sesuai dengan sistem, bukan ke arah pengembangan potensi. dan sistem FDS harusnya menjadi solusi cerdas kualitas pendidikan bangsa. Dengan wacana penambahan pendidikan budaya, seni bahkan "character building" sekan menjadi angin segar untuk mengatasi kejenuhan sistem pendidikan. harusnya...
Mungkin program FDS ini dibully hanya karena para pembully belum bisa move on dan berharap program mendikbud yang baru itu semacam "jemput anak pulang sekolah" atau "istirahat di sekolah bersama anak"... Lucunya, ada beberapa kepala daerah yang katanya ikut bikin petisi "Tolak FDS" haha. Semoga besok pak mendikbud bikin program "guru asing mengajar" agar petisinya ganti jadi "Tolak tenaga asing !" Sehingga tenaga asing ilegal yang bekerja dengan tentram dan damai itu ikut kena efeknya. Karena berdasarkan info yang saya baca, katanya program ini dibatalkan. Pasti kepala daerah itu perlu petisi baru. Petisi yang lama tidak jadi dipakai.
Forza pendidikan indonesia !
Education is not preparation for life,
Education is "life" it self
-John Dewey_
tulisan oleh irsyad madjid (ketum fastcho 2016-2017)
tulisan oleh irsyad madjid (ketum fastcho 2016-2017)
0 komentar:
Posting Komentar